Ad Code

Responsive Advertisement

Info

6/recent/ticker-posts

Legenda Hitobashira Ketika Manusia Dijadikan Fondasi Bangunan

Legenda Hitobashira

Jejakdarah - Bayangkan kamu sedang berjalan-jalan di Jepang, menikmati keindahan kuil tua yang menjulang anggun dengan ukiran kayu yang rumit dan atap melengkung yang memesona. Tapi, di balik megahnya bangunan itu, siapa sangka ada kisah kelam yang mungkin membuatmu merinding. Sebuah kisah tentang pengorbanan manusia—secara harfiah.

Inilah yang disebut Legenda Hitobashira (人柱), atau secara harfiah berarti "pilar manusia." Legenda ini bukan sekadar cerita horor untuk menakut-nakuti anak kecil, tapi sebuah praktik kuno yang konon pernah benar-benar terjadi di Jepang berabad-abad lalu. Praktik ini melibatkan pengorbanan nyawa manusia sebagai bagian dari konstruksi bangunan besar, dengan harapan bangunan itu akan berdiri kokoh dan dilindungi dari bencana.


Awal Mula Kepercayaan

Hitobashira dipercaya berasal dari kepercayaan Shinto dan animisme Jepang kuno. Dalam budaya Jepang, alam dianggap memiliki roh atau kekuatan yang tak kasat mata. Sungai, gunung, bahkan bangunan bisa "hidup" atau punya jiwa. Nah, kalau suatu bangunan besar—seperti jembatan, kastil, atau kuil—dibangun di atas lahan yang dianggap “bermasalah” atau “angker”, maka dibutuhkan tumbal agar bangunan itu tidak ditimpa bencana. Dan sayangnya, tumbal itu kadang adalah seorang manusia.

Tapi, jangan langsung membayangkan ribuan orang dikorbankan setiap pembangunan. Praktik ini tidak lazim dilakukan secara massal. Ia lebih seperti “langkah terakhir” ketika semua usaha teknik gagal. Saat tanah longsor terus menghantam pondasi, saat jembatan selalu roboh karena banjir, atau ketika pekerja konstruksi terus mengalami kecelakaan aneh… saat itulah Hitobashira dianggap sebagai solusi pamungkas.


Kisah-Kisah Nyata atau Urban Legend?

Salah satu kisah paling terkenal adalah tentang Maruoka Castle di Prefektur Fukui. Konon, saat pembangunan kastil dimulai di abad ke-16, dinding bentengnya terus runtuh. Berkali-kali diperbaiki, berkali-kali pula ambruk. Akhirnya, para pekerja mengorbankan seorang wanita buta bernama O-shizu. Dia dikubur hidup-hidup di bawah fondasi kastil sebagai Hitobashira.

Yang tragis, O-shizu memiliki seorang anak. Dia menerima nasibnya sebagai tumbal dengan satu permintaan: kelak anaknya diangkat menjadi samurai. Namun, janji itu dilupakan. Dan sejak saat itu, setiap musim semi, air dari kastil mengalir deras seperti tangisan. Warga setempat menyebutnya "Namida no ame"—hujan air mata.

Cerita ini begitu populer hingga dituliskan dalam berbagai dokumen sejarah lokal, bahkan menjadi bagian dari narasi tur wisata. Apakah kisah ini benar terjadi atau hanya dongeng rakyat yang berkembang dari generasi ke generasi? Tidak ada catatan arkeologis yang membuktikan penguburan manusia di Maruoka Castle, tapi jejak ceritanya masih membekas kuat di ingatan kolektif masyarakat setempat.


Antara Mitos dan Fakta

Sejumlah sejarawan dan arkeolog mencoba membedah kebenaran legenda ini. Memang ada indikasi bahwa pada zaman feodal, pengorbanan manusia bukan hal yang mustahil. Namun, apakah benar orang-orang dikubur hidup-hidup dalam fondasi bangunan?

Beberapa teori mengatakan bahwa istilah Hitobashira mungkin tidak selalu berarti secara harfiah ada orang yang dikubur hidup-hidup. Bisa saja itu hanya simbol atau metafora atas “pengorbanan” para pekerja atau penduduk yang gugur dalam proyek besar. Tapi di sisi lain, Jepang bukan satu-satunya negara yang punya sejarah kelam seperti ini.

Di Tiongkok kuno, Mesir, bahkan beberapa kerajaan Eropa, ada catatan tentang pengorbanan manusia demi kelancaran pembangunan. Jadi, bukan tidak mungkin bahwa Hitobashira memang pernah terjadi—meski tak seumum yang dibayangkan.


Makna Mistis yang Bertahan

Di masa kini, kepercayaan semacam ini memang sudah hilang dari praktik. Tapi maknanya masih hidup, terutama dalam seni dan budaya pop Jepang. Banyak anime, film horor, bahkan game yang terinspirasi dari konsep Hitobashira.

Misalnya, dalam anime Hell Girl atau Inuyasha, tema tumbal manusia sering kali muncul sebagai bentuk balas dendam roh yang tidak tenang. Dalam game seperti Fatal Frame, pemain sering menemukan catatan atau roh korban pengorbanan yang menghantui bangunan tua.

Menariknya, konsep Hitobashira tidak hanya digunakan dalam konteks horor, tapi juga sebagai kritik sosial. Ia menjadi simbol dari “pengorbanan yang tak terlihat” dalam sistem. Seperti pekerja konstruksi yang tewas tanpa diberi penghormatan, atau masyarakat kecil yang dikorbankan demi kemajuan kota. Dalam pengertian ini, Hitobashira berubah dari legenda kelam menjadi cermin realitas sosial.


Hitobashira dalam Sudut Pandang Modern

Kini, setiap bangunan di Jepang dibangun dengan teknologi tinggi, standar keselamatan kelas dunia, dan tentunya tanpa harus menanam manusia di pondasi. Tapi rasa hormat terhadap tanah, roh leluhur, dan keseimbangan alam masih terasa kuat.

Misalnya, saat pembangunan gedung besar, sering diadakan upacara jichinsai—ritual Shinto untuk memohon izin kepada roh bumi. Bukan lagi dengan darah, tapi dengan sake dan nasi. Sebuah evolusi dari Hitobashira menjadi sesuatu yang lebih manusiawi.


Penutup: Pilar yang Tak Terlihat

Legenda Hitobashira mungkin terdengar gila, menyeramkan, bahkan tak masuk akal di zaman sekarang. Tapi seperti banyak legenda lainnya, ia menyimpan makna lebih dalam dari sekadar cerita menakutkan.

Ia bicara tentang rasa takut manusia akan hal yang tak bisa dikendalikan. Tentang betapa besarnya harga yang dulu rela dibayar demi kestabilan. Dan tentang mereka yang, entah nyata atau hanya mitos, menjadi pilar dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Maka, lain kali kamu berdiri di hadapan kastil tua atau kuil megah di Jepang, coba pandang lebih dalam. Mungkin, ada kisah manusia yang menjadi “fondasi” dari semua keindahan itu.

Posting Komentar

0 Komentar

Recent, Random or Label